Followers

16 December 2011

Dia bukan siapa-siapa

Bismillahhirohmanirohim....Alhamdulillah diizinkan oleh-Nya untuk menjenguk hari ini. Segala puji bagi Allah Tuhan sekian Alam Selawat dan salam ke atas Junjungan besar Nabi Muhammad S.A.W, keatas para sahabat dan keluarga Baginda.....
Dalam menghitung perjalanan kita sudah berada dipertengahan tahun baru Muharam 1433 Hijrah. Pada itu juga segala yang telah dilewati hari-hari kelmarin adalah rentetan hidup kita untuk hari ini dan seterusnya, sebelum dijemput pulang pada yang Abadi. Tahun baru Hijrah moga menjadi titik untuk memperbaiki diri dalam mendekat diri pada Allah S.W.T...diberi lembaran baru dan kesabaran dalam menjalani hidup ini demi mengapai redho dari-Nya dunia dan akhirat Insya Allah.
.....Dia bukan siapa-siapa......
Dalam melewati hari-hari kelmarin pasti ada sesuatu yang kita pelajari mungkin itu didikan dari-Nya. Kita ditakdirkan bertemu dengan seseorang, teman, sahabat, itu adalah anugerah dalam kehiduan kita sebagai insan bertemu dan berpisah pasti terjadi. Sungguh indah pada sebuah pertemuan itu, kita belajar tentang kasih sayang sesama insan, kita belajar menghargai walaupun mereka yang bertemu dan berkenalan dengan kita bukanlah dari keluarga sendiri..... Benarlah pada ungkapan ini.... "PERHUBUNGAN PADA DASAR AGAMA ITU LEBIH KUAT DAN UTUH DARI HUBUNGAN PERTALIAN DARAH DAN KELUARGA" bukan menidakkan hubungan darah daging . Kita pasti merasai kehangatan ikatan persaudaraan walaupun mereka yang ditakdirkan bertemu bukan siapa-siapa, tidak ada hubungan kekeluargaan, namun terasa begitu akrab sekali seakan sudah lama mengenali. Disitu kita merasai nilai kasih sayang yang diberikan oleh Yang Maha Esa pada hamba-hamba-Nya. Mereka hadir dalam kamus hidup dan pada rentetan waktu yang kita tidak pernah menduga siapa dan mengapa. Hadir memberi keindahan pada hidup, mengajar tentang perjalanan sebuah kehidupan dalam menuju redho Illahi. Sungguh indah persaudaraan itu, bukan bersandar pada apa-apa tapi demi mengharap redho Illahi....

15 December 2011

Dia bukan siapa-siapa

Bismillahhirohmanirohim....Alhamdulillah diizinkan oleh-Nya untuk menjenguk hari ini. Segala puji bagi Allah Tuhan sekian Alam Selawat dan salam ke atas Junjungan besar Nabi Muhammad S.A.W, keatas para sahabat dan keluarga Baginda.....
Dalam menghitung perjalanan kita sudah berada dipertengahan tahun baru Muharam 1433 Hijrah. Pada itu juga segala yang telah dilewati hari-hari kelmarin adalah rentetan hidup kita untuk hari ini dan seterusnya, sebelum dijemput pulang pada yang Abadi. Tahun baru Hijrah moga menjadi titik untuk memperbaiki diri dalam mendekat diri pada Allah S.W.T...diberi lembaran baru dan kesabaran dalam menjalani hidup ini demi mengapai redho dari-Nya dunia dan akhirat Insya Allah.
Dia bukan siapa-siapa...... Dalam melewati hari-hari kelmarin pasti ada sesuatu yang kita pelajari mungkin itu didikan dari-Nya. Kita ditakdirkan bertemu dengan seseorang, teman, sahabat, itu adalah anugerah dalam kehiduan kita sebagai insan bertemu dan berpisah pasti terjadi. Sungguh indah pada sebuah pertemuan itu, kita belajar tentang kasih sayang sesama insan, kita belajar menghargai walaupun mereka yang bertemu dan berkenalan dengan kita bukanlah dari keluarga sendiri..... Benarlah pada ungkapan ini.... "PERHUBUNGAN PADA DASAR AGAMA ITU LEBIH KUAT DAN UTUH DARI HUBUNGAN PERTALIAN DARAH DAN KELUARGA" bukan menidakkan hubungan darah daging tapi itulah sepertinya. Kita pasti merasai kehangatan ikatan persaudaraan walaupun mereka yang ditakdirkan bertemu bukan siapa-siapa, tidak ada hubungan kekeluargaan, namun terasa begitu akrab sekali seakan sudah lama mengenali. Disitu kita merasai nilai kasih sayang yang diberikan oleh Yang Maha Esa pada hamba-hamba-Nya. Mereka hadir dalam rentetan waktu yang kita tidak pernah menduga siapa dan mengapa. Hadir memberi keindahan pada hidup, mengajar tentang perjalanan sebuah kehidupan dalam menuju redho Illahi,

10 November 2011

Doa-doa...

Cerita tentang 4 wanita terbaik sepanjang zaman

Petikan asal dari laman blog:(laman http://blog.ar.or.id/islam/index.php) ....................................................................................................................................................... Sebuah situs membuat cerita tentang 4 wanita terbaik sepanjang zaman yaitu:
“Sebaik-baik wanita di alam semesta ada empat, yaitu Asiyah istri Fir’aun, Maryam putri Imran, Khadijah binti Khuwailid, dan Fatimah binti Muhammad.” (HR Bukhari & Muslim)

...PROLOG...

Gelar puteri sepertinya sudah bukan sesuatu yang “aneh” lagi saat ini, dari yang kecil-kecilan sampai tingkat international. Di tingkat International saja ada dua versi yang “bersaing”: Miss Universe dan Miss World. Jangan tanya apa bedanya, soalnya asli awak ngga tahu! Dan jangan tanya pula apa kriterianya untuk mendapatkan gelar itu. Tetapi konon kabarnya, para wanita itu terpilih karena mereka “cantik” dan “cerdas”. Apa kriteria cantik dan cerdas? Wallahu’alam, itu relative sekali, tergantung selera siapa yang lagi jadi juri. Lepas dari segala macam kontroversi yang sering mengiringi acara miss-miss-an begini, ada empat wanita yang sebenarnya paling berhak menyandang gelar Miss Universe, atau wanita paling hebat sejagad raya ini. Mereka bahkan pantas untuk menyadang gelar itu tidak hanya untuk jangka waktu setahun, tapi untuk selamanya, sampai pasca kiamat sekalipun. Hebatnya lagi, bukan sekedar juri yang memilih mereka, tapi Yang Di Atas sana yang menobatkannya. Jadi, siapa para Miss Universe (mungkin tepatnya Misses Universe) Forever ini?
...ASIYAH...

Entah kenapa cerita tentang tokoh hebat satu ini relatif kurang “disosialisasikan”, jadi mungkin tak terlalu mengejutkan seandainya ternyata tidak banyak orang yang kenal siapa Asiyah (bukan Aisyah). Sayang sekali sebenarnya, karena sebenarnya dia adalah wanita hebat dunia akherat. Di dunia, Asiyah adalah istri salah satu raja yang paling berkuasa, kaya dan perkasa sepanjang sejarah manusia: Fir’aun. Dia juga ibu angkat yang sangat pengasih dari salah seorang Nabi besar: Musa A.S. Dalam ukuran “duniawi” tidak ada yang perlu membantah “kemuliaannya”. Tetapi kemuliaan duniawinya ini tidak lantas membuatnya lupa diri. Di tengah gelimang harta dan rezeki duniawi lainnya, Asiyah tetaplah seorang wanita dengan hati yang lembut tapi teguh. Hati lembut yang mampu menangkap getaran “kebenaran Ilahi” yang Alhamdulilah mengantarkannya sebagai salah satu orang pertama yang beriman kepada Tuhannya Musa dan Harun. Dan hatinya yang teguh membuat keimanannya tak tergores sedikitpun walaupun dia harus tinggal di tengah-tengah pusat kemaksiatan dan pengingkaran kepada Allah, bahkan menjadi pendamping hidup orang yang dikenal sebagai pembangkang Allah terkeras sepanjang masa. Entah berapa kali Asiyah harus memendam sakit hati dan kejengkelannya tiap kali melihat polah Fir’aun menantang dan menghinaAllah . Mungkin sama jengkelnya dengan kita terhadap publikasi kartun-kartun yang mencemooh Rasulullah SAW, lagak “tak bersalah” si penerbitnya, dan tingkah para pendukungnya yang di antaranya mengatakan agar kartun itu diterbitkan saja tiap hari selama seminggu supaya umat Islam jadi “terbiasa”. Bedanya, saat ini kita masih bisa mengekspresikan kemarahan kita, sementara Asiyah harus menyembunyikannya karena mengikuti anjuran Musa yang mengkhawatirkan keselamatan ibu angkat yang disayanginya. Memang bukan hal gampang menjadi “orang suci di sarang penyamun” macam ini. Di samping harus siap “makan hati” terus-terusan, Asiyah pun harus melalui hari-hari penuh perjuangan untuk tetap konsisten walaupun begitu banyak “godaan” di sekitarnya. Coba kalau kita ingat, berapa banyak orang yang kita tahutelah “berubah” karena lingkungan. Bahkan kadang kita pun merasakan sendiri betapa sulitnya untuk tetap “konsisten” sendirian terhadap nilai-nilai yang kita anut pada saat kita hidup di tengah masyarakat yang menganut nilai yang berbeda. Kalau saja bukan karena cinta Asiyah yang begitu besar kepada Tuhannya, mungkin pertahanannya akan runtuh. Kenyataannya, ikatan emosional yang begitu kuat kepada Allah lah yang membuat dia bertahan, bahkan pada saat tersulit dalam hidupnya, yaitu menjelang akhir hayatnya, ketika dia disiksa dengan siksaan yang tak terbayangkan kejamnya oleh suaminya sendiri! Hari penyiksaan itu terjadi ketika akhirnya Asiyah mendeklarasikan dengan lantang keimanannya kepada Allah di depan suaminya. Deklarasi penuh emosi ini terjadi setelah jiwa Asiyah begitu terguncang menyaksikan pembantaian atas Masyitah, juru sisir istana, beserta suami dan dua anak perempuannya yang masih kecil akibat penolakan mereka untuk mengakui Fir’aun sebagai tuhan. “Kuperingatkan kau wahai Fir’aun dan kunyatakan bahwa Tuhanku, Sang Pencipta, Robb-ku, Allahku; dan Tuhanmu juga, Robb-mu, dan Allahmu; dan Tuhan Masyitah dan anak-anak itu; dan Tuhan langit dan bumi; adalah Allah yang satu, yang tak seorangpun sanggup menyamaiNya. Dia tak memiliki tandingan!!” Harta, tahta, dan keselamatan nyawa adalah kenikmatan duniawi yang begitu sering dikejar-kejar manusia, bahkan dengan cara haram sekalipun. Sebagai istri Fir’aun, Asiyah memiliki semua itu dengan berlimpah. Tapi saat itu, dalam kemarahannya, dia seakan telah melemparkan semua itu ke muka Fir’aun. Akibatnya, di atas lempengan batu yang sebelumnya dipakai untuk membantai keluarga Masyitah jugalah Asiyah akhirnya diikat dan ditindih dengan sebuah lempengan batu tipis yang di atasnya dinyalakan api. Lempengan batu tipis itu berubah menjadi semacam setrika besar yang ditindihkan di atas dada sang Ratu Mulia ini, yang perlahan-lahan membakar tubuhnya. Waktu berjalan perlahan mengantarkan Asiyah mendekati kematiannya dengan cara yang sangat menyakitkan. Tapi segala siksaan keji yang menyakiti tubuh dan mengalirkan darahnya, maupun paksaan Fir’aun agar istrinya mengakuinya sebagai tuhan, tak bisa mengurangi sedikitpun cinta sang istri kepada Tuhannya. “Api di atasku mulai membakar dan menghanguskan tubuhku, tapi api cinta yang sempurna dan tak terhingga kepada Allah menyala-nyala dengan lebih hebat di dalam tubuh ini.” Dan pada detik-detik akhir hidupnya, dari bibir wanita mulia ini terucap sebuah doa dan pengharapan kepada Rabb yang begitu dicintainya: “Ya Allah, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisiMu di surga…” Allah telah menyaksikan perjuangan dan pengorbanan total wanita ini, dan Dia juga memerintahkan para malaikat untuk menjadi saksi atas ketulusan cinta Asiyah kepada Tuhannya. Dan ketika Asiyah mulai memejamkan mata menjemput ajalnya, Allah memerintahkan Jibril untuk menemuinya dan memperlihatkan kepadanya rumah yang telah disediakan untuk wanita agung ini di surga. Dan Asiyah pun akhirnya wafat dengan membawa kemenangan atas seorang tiran yang telah gagal memaksanya bertekuk lutut dan menghianati cinta sejatinya kepada Rabb-nya. Sebenarnya, ada beberapa versi yang agak berbeda tentang siksaan apa yang harus ditanggung Asiyah pada akhir hidupnya. Sebagian menyatakan bahwa dia digantung. Sebagian lagi menyatakan bahwa dia diikat dan dicambuki sampai mati. Namun pada intinya, apapun siksaan yang telah dialaminya, itu tetap sebuah ujian yang sangat berat bagi manusia manapun juga. Dan “keberhasilan” Asiyah melalui ujian ini menunjukkan kepada kita apa arti “jatuh cinta” kepada Khalik yang sebenarnya. Tidak heran apabila nama Asiyah adalah salah satu dari sedikit nama yang “dimuliakan” Allah dalam Al Qur’an sebagai contoh “ideal” orang yang beriman: “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah disisi-Mu dalam surga, dan selamatkan aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkan aku dari kaum yang zalim.” - QS At Tahrim: 11

...MARYAM...

Suci sampai akhir hayat itulah Maryam, wanita yang telah disucikan Allah, dilebihkan kedudukannya di atas seluruh wanita pada masa itu, dan dipilih olehNya untuk melahirkan seorang Nabi besar dari rahimnya melalui cara yang luar biasa. Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, mensucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala wanita di seluruh alam (pada masa itu). QS Ali Imran (3): 42 Ada beberapa wanita mulia yang disinggung-singgung dalam Al Quran, namun Maryam lah satu-satunya wanita yang nama panggilannya diabadikan dalam AlQuran. Ada banyak rasul yang disebut Allah di dalam Al Quran, tapi Isa ASlah satu-satunya rasul yang setiap kali namanya disebut hampir selalu diikuti oleh nama orang tuanya. Allah tidak menyebut Muhammad ibn Abdullah, Yahya ibn Zakaria, atau Yusuf ibn Ya'qub dalam Al- Quran, tapi Dia berkali-kali menyebut Isa ibn Maryam. Betapa Allah memuliakan wanita ini! But why can she be so special before God? Untuk bisa memahami itu, kita harus mencoba melihat diri kita sendiri terlebih dulu. Kita, paling tidak saya pribadi, terus terang saja terkadang masih ada sedikit perasaan berat ketika harus mengerjakan beberapa ibadah, seperti sholat malam, puasa, bahkan terkadang sholat fardlu sekalipun! Astaghfirullah…. Kalau saja bukan karena ada rasa takut kepada Yang Maha Kuasa atau rindu akan ridha dan syafaatNya di akherat, mungkin sudah keteteran aja ibadah-ibadah itu. Naudzubillahi mindzaliik….. Perasaan-perasaan semacam itu sebenarnya bisa dijadikan bukti empirik betapa kuatnya godaan duniawi yang kita temui sehari-hari, dan betapa hal itu bisa mengalihkan konsentrasi kita pada hakekat hidup kita di dunia ini: mengumpulkan bekal yang (semoga) pantas untuk kita tukar dengan ridha dan ampunan Allah di akherat kelak. Kalau kita tidak tahan banting atau takut pada sesuatu yang jauh lebih kuat dan besar dari seluruh isi bumi dan langit ini, mungkin hidup kita akan dipenuhi pengabaian ibadah kepadaNya. Karena itu, sebenarnya hari-hari yang kita lalui ini adalah hari-hari perjuangan mengendalikan nafsu duniawi agar tidak lalai pada keselamatan kita sendiri di akherat nanti; dan Maryam adalah seorang wanita yang selalu menang dalam perjuangan tersebut. Sejak kecil hidup bagi Maryam adalah untuk mengabdi sepenuhnya kepada Tuhannya. Sepenuhnya, utuh, bulat-bulat. Ibaratnya, setiap tarikan nafasnya dia lakukan dalam keadaan beribadah dan tunduk kepada Allah. Tidak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya dari Tuhannya, bahkan ketika dia mendapat ujian-ujian berat dariNya, seperti ketika harus hamil dan melahirkan tanpa seorang suami! Pelecehan masyarakat terhadap kesuciannya karena peristiwa tersebut adalah sebuah ujian yang begitu berat bagi seorang wanita yang keseriusannya dalam menjaga kesucian sulit dicari tandingannya. Begitu juga ketika dia harus mendampingi perjuangan sulit anaknya, Isa AS. Mungkin kita bisa merasakan sendiri bagaimana kita seakan ikut sakit ketika anak kesayangan kita jatuh dan berdarah, atau ketika mereka meneteskan air mata karena ejekan atau penolakan teman-temannya. Jadi bisa dibayangkan betapa perihnya Maryam ketika melihat buah hatinya dimusuhi, ditolak, diejek, bahkan disakiti karena perjuangannya. Namun karena kesadarannya bahwa semua ini adalah demi Tuhannya yang dicintainya lebih dari apapun, ketundukannya kepada Allah tak tergores sedikitpun oleh ujian-ujian itu. Mencapai derajat kekhusyukan dan ketundukan Maryam sama sekali bukan sesuatu yang gampang. Coba kita hitung berapa kali dalam sehari perhatian kita teralih dari Tuhan kita, bahkan pada saat mengerjakan sholat sekalipun! Atau berapa kali kita mengabaikan perintahNya atau laranganNya dengan berbagai alasan dan justifikasi? Mungkin tak terhitung lagi jumlahnya. Jadi ketika kita merasakan sendiri betapa sulitnya menjadi sekhusyuk dan setunduk Maryam, dan betapa Allah mencintai dan memuliakannya karena ketundukannya itu, apakah aneh jika Maryam dinobatkan menjadi salah satu Wanita Terhebat dan Termulia se-Jagad Raya ini?

...KHADIJAH...

Sebagai istri, saya pribadi sering merasa “malu” tiap kali berkaca pada Khadijah. Kontribusi dan pengabdian saya terhadap suami sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan apa yang telah diabdikan Khadijah terhadap suaminya. Tetapi yang lebih memalukan, seringkali tuntutan saya terhadap suami jauh melebihi harapan-harapan Khadijah terhadap suaminya. She served the best without expecting too much in return! Satu-satunya “pamrih” yang diinginkannya adalah cinta Tuhannya dan Utusannya. Kelihatannya macam slogan yang gampang diucapkan ya? Tapi dijamin tidak gampang untuk menjalankannya. Try to stand on Khadijah’s shoes to know how difficult it is. Marilah kita bayangkan mulai dari contoh yang paling mudah dulu. Seandainya kita seorang “konglomerat” yang menikah dengan seorang penjual kelontong di pasar, siapkah kita meninggalkan gaya hidup “borju” kita untuk menjalani kehidupan sederhana seorang istri penjual kelontong? Atau contoh lain, mudahkah bagi kita menahan diri untuk tidak uring-uringan seandainya suami sering pergi berhari-hari untuk mengejar “idealisme”nya yang mungkin masih sulit kita pahami, dan meninggalkan kita sendirian mengurus anak dan membersihkan rumah? Atau… mudahkah pula bagi kita untuk mengorbankan kesuksesan yang telah kita bangun dengan susah payah demi tugas suami yang mungkin tidak menawarkan “imbalan” yang memadai? It’s hard, apalagi jika kita merasa bahwa selama ini “karir” dan penghasilan kita jauh melebihi suami. Khadijah adalah seorang pengusaha wanita yang sangat sukses dan terhormat di kalangan kaum Quraishy dengan kemampuan membaca pasar dan mengelola asset yang hebat. Walaupun dia masih tetap kaya pada masa-masa awal kehidupannya sebagai istri seorang pedagang kecil, dia rela untuk menjalani cara hidup yang sangat sederhana karena Muhammad SAW, suaminya, tidak ingin keluarganya hidup berlebihan pada saat banyak orang lain yang masih kekurangan. Tidak ada keluhan yang terucap dari bibirnya. Dia meyakini kemuliaan prinsip suaminya dan rela mengikutinya, walaupun dia harus meninggalkan semua kenyamanan yang pernah menghiasi kehidupannya sebelum itu. Tak pula keluhan terucap ketika dia harus hidup bersama seorang suami yang sering pergi menyendiri ke Jabal Nur selama berhari-hari, meninggalkannya sendirian mengurusi anak-anaknya. Jangankan uring-uringan, Khadijah bahkan rela untuk menyiapkan makanan secara teratur dan mengantarkannya sendiri ke Jabal Nur! Jabal Nur adalah sebuah bukit batu cadas berpasir yang sangat sulit dan berbahaya untuk didaki; dan Khadijah telah mendakinya berulang kali sambil membawa makanan agar suaminya tidak kelaparan! Sepenuh hati dia berusaha “meringankan” beban suaminya yang saat itu sedang berusaha menemukan jawaban atas kegalauan spiritual dan kerinduannya yang dalam terhadap “Sesuatu” yang menjadi sumber dari segala kehidupan ini. Tak terhitung juga berapa kekayaan Khadijah yang dia abdikan demi perjuangan suaminya menegakkan kalimat “laa ilaaha illallaah”. Sebagai istri seorang keturunan Hasyim, Khadijah bahkan kehilangan “segalanya” ketika kaum kafir Quraishy melakukan boikot kepada bani Hasyim dan bani Muthalib selama tiga tahun. Kekayaannya yang tersisa dia gunakan untuk membeli makanan secara diam-diam bagi para pengikut Rasulullah yang harus kelaparan karena mempertahankan iman mereka. Walaupun dirinya seorang pengusaha, Khadijah tak menghitung pengorbanannya sebagai sebuah kerugian besar, karena dia yakin bahwa dia sedang melakukan jual-beli yang sangat menguntungkan dengan Sang Maha Kaya. Dia rela menukar semua kekayaan dan kesuksesannya dengan ridha Tuhannya. Khadijah tidak hanya mengorbankan harta dan kesuksesannya saja. Jihad Muhammad SAW dihiasi dengan penolakan, penganiayaan, caci-maki, bahkan ancaman pembunuhan. Dan Khadijah tak pernah menjauh dari sisi suaminya dalam menapaki jalan terjal itu meski keselamatannya sendiri dan keluarganya menjadi taruhannya. Walaupun dia ikut menanggung “teror” mental maupun fisik dari musuh Muhammad, Khadijah pantang menampakkan kekuatiran dan ketakutan di wajahnya. Baginya, kegalauan di wajah bertentangan dengan tugasnya sebagai cahaya ketentraman bagi suaminya. Lantas, apakah mengherankan kalau Muhammad SAW begitu mencintai dan menghormati istrinya ini. Beliau tak menikahi wanita lain selama bersama Khadijah. Sayangnya, hal ini sering “dilupakan” oleh para pengkritik kehidupan poligami Rasulullah. Muhammad SAW pun begitu terpukul ketika “belahan jiwanya” ini wafat hanya beberapa saat setelah boikot Quraishy berakhir, pada tahun yang kemudian dikenal sebagai tahun ‘Aamul Huzni, tahun kesedihan Rasulullah SAW. Tampaknya, kelaparan dan beban psikologis selama masa boikot telah menggerogoti kesehatan wanita agung ini. Muhammad SAW mengurus sendiri jenazah Kesayangannya ini, dan mengantarkannya ke pembaringan terakhirnya di Mekkah dengan sebuah kalimat perpisahan: “Sebaik-baik wanita penghuni surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid”. Ketika telah menikah dengan istri-istrinya yang lain sepeninggal Khadijah pun, tidak jarang Rasulullah SAW masih diliputi kenangan akan Khadijah yang terkadang terlontar dalam bentuk pujian-pujian. Dan hal ini sempat menimbulkan kecemburuan Aisyah: “Alangkah banyak yang kau ingat tentang si pipi merah itu, padahal engkau telah mendapatkan gantinya yang lebih baik dari dia.” Wajah Muhammad SAW berubah merah padam mendengar protes itu. Dan biasanya hanya pada saat menerima wahyu saja wajah beliau akan menjadi semerah itu. Lalu beliau pun menjawab: “Demi Allah, Allah belum menggantikannya dengan yang lebih baik dari dia. Dia telah beriman kepadaku ketika semua orang ingkar padaku, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakan, dia memberikan semua hartanya ketika orang-orang tak mau memberiku apa-apa, dan melaluinya Allah mengaruniakanku keturunan yang tidak diberikan oleh istri-istriku yang lain.” (HR Ahmad) Khadijah ternyata tidak hanya menjadi istri yang paling dicintai Muhammad SAW. Sang Maha Agung dan Malaikat Jibril pun mencintai wanita mulia ini. Bahkan, melalui Jibril Allah telah menitipkan salamNya kepada Khadijah, Subhanallah! “Wahai Rasulullah, inilah Khadijah, ia akan datang kepadamu dengan membawa tempat yang berisi makanan, lauk dan minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan salam kepadanya dari Tuhannya dan dariku.” (HR Bukhari & Muslim, dari Abu Hurairah) Cinta Allah kepada wanita suci ini bahkan diwujudkanNya pula dengan sebuah rumah permata yang disediakan untuk Khadijah dalam surgaNya. “Aku (Muhammad) diperintahkan untuk menyampaikan kabar gembira kepada Khadijah tentang sebuah rumah di surga dari permata dimana di dalamnya tiada keributan dan kepayahan.” (HR Ahmad, Abu Ya’la, ath-Thabrani, dari Abdullah bin Ja’far) Betapa beruntungnya Khadijah mendapatkan cinta, salam, dan rumah permata di surga dari Tuhannya. Namun “keberuntungan” Khadijah ini bukan didapatnya dengan cuma-cuma; dia memperolehnya melalui perjuangan berat yang dilakukannya dengan ikhlas sampai akhir hayatnya. Hanya wanita hebat saja yang pantas diberi salam oleh Tuhannya.

...FATIMAH...

Andaikan kita adalah putri kesayangan seorang pemimpin nomer satu sebuah bangsa besar, kira-kira kehidupan seperti apa yang akan kita jalani? Mungkin bermacam bayangan terlintas di benak kita, tapi bisa jadi tak banyak yang membayangkan kehidupan seperti yang pernah dijalani Fatimah Az-Zahra RA, putri kesayangan seorang pemimpin besar yang menempati urutan pertama tokoh paling berpengaruh di dunia sepanjang sejarah manusia. Sejak kecil, Putri Kesayangan ini telah akrab dengan kelaparan yang harus dijalaninya demi cinta dan ketaatannya kepada Tuhannya dan ayahnya. Ketika Bani Hasyim dan Bani Muthalib diboikot dan dikucilkan oleh kaum Quraishy, mereka harus melalui hari-harinya selama tiga tahun dalam kelaparan. Diriwayatkan bahwa naluri keibuan Khadijah begitu perih melihat putri kecilnya kelaparan, “Kasihan engkau anakku, dalam usia begini muda engkau sudah harus merasakan penderitaan seberat ini.” Namun, tak disangka, si kecil menjawab, “Aku tidak apa-apa Bu, justru kami lah yang kuatir akan keadaan ibu.” Kalimat mengagumkan ini meluncur dari bibir mungil gadis cilik berusia lima tahun. Ketika mulai dewasa pun “peruntungan materialnya” tidak berbeda. Fatimah dinikahkan dengan seorang pemuda miskin yang hanya bisa memberikan baju besinya sebagai mas kawin. Hanya saja, suaminya ini dikenal sebagai salah satu hamba Allah yang paling luas ilmunya, paling mula memeluk Islam, dan paling tinggi derajatnya di hadapanNya, bahkan telah dijamin masuk surga lewat jalur cepat sebagaimana istrinya. Fatimah juga telah mengenal Ali, suaminya, sejak kanak-kanak karena mereka tumbuh bersama dalam asuhan Muhammad dan Khadijah. Kehidupan Fatimah sebagai anak pembesar memang tergolong “unik”. Dia tak mempunyai pembantu karena memang tak sanggup membayarnya. Dia menumbuk gandum sendiri tiap hari sampai tangannya lecet dan bajunya lusuh karenanya. Ali yang tidak tega melihat “penderitaan” istrinya menyuruh Fatimah menemui ayahnya untuk meminta seorang pembantu. Tapi Muhammad SAW, yang tidak ingin melihat ada anggota keluarganya hidup berlebih selama masih ada orang lain yang kekurangan, tidak mengabulkannya. Sebagai gantinya, ayahnya mengajarkan doa kepadanya agar dia dikuatkan dalam menghadapi hidup ini. Ketika dia sakit Rasulullah menjenguk, “Apa yang kau rasakan anakku?” Putrinya menjawab, “Sakit ayah… dan aku juga merasa lapar karena tak ada makanan untuk dimakan.” Rasul menangis mendengarnya dan membesarkan hati putrinya, “Puaskah engkau anakku menjadi pemuka seluruh wanita di alam ini?” Ketika ada seorang pengembara miskin mendatangi Rasul untuk meminta sedekah, Rasul menyuruhnya meminta kepada Fatimah karena beliau tidak punya apa-apa lagi saat itu untuk disedekahkan. Fatimah sebenarnya juga tak memiliki apa-apa untuk disedekahkan, sebelum akhirnya dia teringat pada kalungnya dan lantas memberikannya begitu saja kepada si pengembara sebagai sedekah. Nampaknya Allah begitu ridha padha keikhlasan Fatimah, sehingga akhirnya kalung itu bisa kembali kepadanya setelah Abdurrahman bin Auf membelinya dari si pengembara dan memberikannya kepada Rasul beserta seorang budak, dan Rasul lantas memberikan kembali kalung itu ke Fatimah beserta budak pemberian Abdurrahman. Fatimah menerima kembali kalungnya dan membebaskan budak itu walaupun sebenarnya dia sangat membutuhkan seorang pembantu. Buah dari kedermawanan dan keikhlasan putri miskin ini telah menolong seorang pengembara miskin, membebaskan budak, dan mengembalikan kalung satu-satunya kepadanya. Apakah Fatimah membenci dan berontak kepada ayahnya karena merasa telah dijerumuskan dalam kehidupan sulit ini? Tidak sama sekali! Sebaliknya, cintanya begitu besar kepada ayahnya karena dia sangat meyakini kebenaran dan kemuliaan prinsip ayahnya. Dialah putri yang dengan menangis dan penuh kasih membersihkan kotoran dari kepala ayahnya akibat lemparan benda najis musuh-musuhnya. Dia juga yang bersama ayahnya membersihkan kotoran-kotoran najis yang dilemparkan ke rumah mereka. Fatimah pula yang menurut Aisyah RA paling menyerupai ayahnya dan paling dicintai ayahnya. Dia adalah putri yang menangis begitu pedih ketika menyadari malaikat maut telah mendatangi ayahnya, namun tersenyum bahagia ketika ayahnya membisikkan ke telinganya bahwa dialah anggota keluarganya yang pertama kali akan “menyusulnya.” Dialah salah satu wanita yang telah dinobatkan sebagai sebaik-baik wanita di seluruh jagad raya bersama ibundanya, Khadijah, Maryam, dan Asiyah… Bisa jadi kehidupan Fatimah ini (dan juga ayahnya) dianggap sebagai sebuah kekonyolan oleh mereka yang memandang bahwa hidup di dunia adalah kehidupan yang sebenarnya. Dia memiliki banyak kesempatan untuk hidup lebih enak, tapi dia tak mengambilnya. Namun, mereka yang tahu bahwa kehidupan di dunia bukan titik akhir dari kehidupan ini akan kagum pada cara hidup Fatimah yang begitu luar biasa, dan bagaimana dia akhirnya mendapatkan ridha dan cinta dari Sang Pemilik Kehidupan ini karenanya.

...EPILOG...

Wanita-wanita mulia ini memiliki “kecantikan” yang hakiki, karena wajah mereka mampu membuat orang-orang di sekitarnya merasa begitu nyaman dan tentram. Mereka juga memiliki “kecerdasan” yang hakiki, karena mereka tahu pasti bagaimana cara menyelamatkan diri dari siksa pedih “kehidupan” yang sebenarnya nanti, dan mereka berhasil mengikuti cara itu dengan konsisten. Karena itu, merekalah para wanita yang sebenarnya paling berhak menyandang predikat Miss Universe Forever karena kecantikan dan kecerdasan hakiki yang mereka miliki.

Sebenarnya mereka pulalah yang paling pantas untuk kita jadikan model ideal seorang wanita.

“Sebaik-baik wanita di alam semesta ada empat, yaitu Asiyah istri Fir’aun, Maryam putri Imran, Khadijah binti Khuwailid, dan Fatimah binti Muhammad.” (HR Bukhari & Muslim)

Kisah Puteri Rasulullah s. a. w. Yang Bernama Siti Fatimah r. a.:

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE
Gembira hatinya, gembiralah Rasulullah s. a. w. Tertitis air matanya, berdukalah baginda. Dialah satu-satunya puteri yang paling dikasihi oleh junjungan Rasul selepas kewafatan isterinya yang paling dicintai, Siti Khadijah. Itulah Siti Fatimah r. a., wanita terkemuka di dunia dan penghuni syurga di akhirat. Bersuamikan Sayyidina Ali bukanlah satu kebanggaan yang menjanjikan kekayaan harta. Ini adalah kerana Sayyidina Ali yang merupakan salah seorang daripada empat sahabat yang sangat rapat dengan Rasulullah s. a. w., merupakan kalangan sahabat yang sangat miskin berbanding dengan yang lain. Namun jauh di sanubari Rasulullah s. a. w. tersimpan perasaan kasih dan sayang yang sangat mendalam terhadapnya. Rasulullah s. a. w. pernah bersabda kepada Sayyidina Ali,"Fatimah lebih kucintai daripada engkau, namun dalam pandanganku engkau lebih mulia daripada dia."(Riwayat Abu Hurairah) Wanita pilihan untuk lelaki pilihan. Fatimah mewarisi akhlak ibunya Siti Khadijah. Tidak pernah membebani dan menyakiti suami dengan kata- kata atau sikap. Sentiasa senyum menyambut kepulangan suami hingga hilang separuh masalah suaminya. Dengan mas kahwin hanya 400 dirham hasil jualan baju perang kepada Sayyidina Usman Ibnu Affan itulah dia memulakan penghidupan dengan wanita yang sangat dimuliakan Allah di dunia dan di Akhirat. Bukan Sayyidina Ali tidak mahu menyediakan seorang pembantu untuk isterinya tetapi sememangnya beliau tidak mampu berbuat demikian. Meskipun beliau cukup tahu isterinya saban hari bertungkus-lumus menguruskan anak-anak, memasak, membasuh dan menggiling tepung, dan yang lebih memenatkan lagi bila terpaksa mengandar air berbatu-batu jauhnya sehingga kelihatan tanda di bahu kiri dan kanannya. Suami mana yang tidak sayangkan isteri. Ada ketikanya bila Sayyidina Ali berada di rumah, beliau akan turut sama menyinsing lengan membantu Siti Fatimah menggiling tepung di dapur. "Terima kasih suamiku," bisik Fatimah pada suaminya. Usaha sekecil itu, di celah-celah kesibukan sudah cukup berkesan dalam membelai perasaan seorang isteri. Suatu hari, Rasulullah s. a. w. masuk ke rumah anaknya. Didapati puterinya yang berpakaian kasar itu sedang mengisar biji-biji gandum dalam linangan air mata. Fatimah segera mengesat air matanya tatkala menyedari kehadiran ayahanda kesayangannya itu. Lalu ditanya oleh baginda, "Wahai buah hatiku, apakah yang engkau tangiskan itu? Semoga Allah menggembirakanmu." Dalam nada sayu Fatimah berkata, "Wahai ayahanda, sesungguhnya anakmu ini terlalu penat kerana terpaksa mengisar gandum dan menguruskan segala urusan rumah seorang diri. Wahai ayahanda, kiranya tidak keberatan bolehkah ayahanda meminta suamiku menyediakan seorang pembantu untukku?" Baginda tersenyum seraya bangun mendapatkan kisaran tepung itu. Dengan lafaz Bismillah, Baginda meletakkan segenggam gandum ke dalam kisaran itu. Dengan izin Allah, maka berpusinglah kisaran itu dengan sendirinya. Hati Fatimah sangat terhibur dan merasa sangat gembira dengan hadiah istimewa dari ayahandanya itu. Habis semua gandumnya dikisar dan batu kisar itu tidak akan berhenti selagi tidak ada arahan untuk berhenti, sehinggalah Rasulullah s. a. w. menghentikannya. Berkata Rasulullah s. a. w. dengan kata-kata yang masyhur, "Wahai Fatimah, Gunung Uhud pernah ditawarkan kepadaku untuk menjadi emas, namun ayahanda memilih untuk keluarga kita kesenangan di akhirat." Jelas, Baginda Rasul mahu mendidik puterinya bahawa kesusahan bukanlah penghalang untuk menjadi solehah. Ayahanda yang penyayang terus merenung puterinya dengan pandangan kasih sayang, "Puteriku, mahukah engkau kuajarkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kau pinta itu?" "Tentu sekali ya Rasulullah," jawab Siti Fatimah kegirangan. Rasulullah s. a. w. bersabda, "Jibril telah mengajarku beberapa kalimah. Setiap kali selesai sembahyang, hendaklah membaca 'Subhanallah' sepuluh kali, Alhamdulillah' sepuluh kali dan 'Allahu Akbar' sepuluh kali. Kemudian ketika hendak tidur baca 'Subhanallah', 'Alhamdulillah' dan 'Allahu Akbar' ini sebanyak tiga puluh tiga kali." Ternyata amalan itu telah memberi kesan kepada Siti Fatimah. Semua kerja rumah dapat dilaksanakan dengan mudah dan sempurna meskipun tanpa pembantu rumah. Itulah hadiah istimewa dari Allah buat hamba-hamba yang hatinya sentiasa mengingatiNya Buat renungan semua: Orang yang berfikiran besar banyak memperkatakan ilmu. Orang yang berfikiran sederhana banyak memperkatakan peristiwa. Orang yang berfikiran rendah banyak memperkatakan manusia. Orang yang berfikiran cetek banyak memperkatakan diri mereka.
Nabi SAW bersabda, ada 4 perkara yang dipandang baik, tetapi 4 lagi dipandang lebih baik : 1. Sifat malu dari lelaki adalah baik, tetapi dari perempuan adalah lebih baik, 2. keadilan dari setiap orang adalah baik, tetapi dari pemimpin adalah lebih baik, 3. taubat dari orang tua adalah baik, tetapi dari orang muda adalah lebih baik, 4. kedermawan dari orang kaya adalah baik, tetapi dari orang fakir adalah lebih baik.

(Dipetik daripada http://nuratie.blog.com)

12 October 2011

Perkahwinan dan hak suami ke atas isteri serta hak isteri ke atas suami

Perkahwinan dan hak suami ke atas isteri serta hak isteri ke atas suami

Perkahwinan merupakan fitrah yang Allah anugerahkan ke atas manusia, baik lelaki mahupun perempuan.

Menurut Islam perkahwinan bukanlah atas tuntutan nafsu, tetapi atas tuntutan agama. Perkahwinan bukan semata-mata untuk memuaskan syahwat tetapi untuk memenuhi kehendak tujuan kejadian manusia iaitu untuk beribadah kepada Allah. Kerana itu setiap Muslim mahupun Muslimah perlu merancang agar perkahwinan mereka tergolong di dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah).

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,

Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda; “Wanita itu dinikahi kerana empat perkara: kerana hartanya; kerana keturunannya; kerana kecantikannya; kerana agamanya. Pilihlah olehmu wanita yang beragama nescaya kamu berbahagia”. [HR Bukhari dan Muslim]

Hadis di atas menerangkan pedoman dari Rasulullah bahawa asas perkahwinan mestilah didasarkan kepada ketakwaan. Muslimin dan Muslimat di sarankan agar memotivasikan diri untuk menjadikan perkahwinan itu sebagai rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Taala.

Perkahwinan merupakan pangkal, sementara berbagai-bagai hubungan lain hanyalah cabang dari adanya hubungan perkahwinan. Dengan kata lain, jika tidak ada perkahwinan, tidak mungkin muncul status suami, isteri, anak, bapa, ibu dan sebagainya.Islam telah menganjurkan kaum Muslimin untuk melangsungkan perkahwinan.

Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu menuturkan bahawa Rasulullah bersabda sebagai berikut: “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu memikul beban, hendaklah ia segera bernikah, kerana hal itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa sahaja yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, kerana hal itu dapat menjadi perisai.”

Seorang Muslim atau Muslimah yang baik selalu berharap kepada Allah agar mendapatkan pasangan yang dapat menjaga kehormatan dirinya, keluarganya dan kedekatannya kepada Allah Subhanahu wa Taala. Ia akan bersyukur jika ia berhasil memiliki pasangan yang soleh/solehah. Sebab ia telah mendapat keberuntungan yang paling besar.

Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita solehah.” [HR Muslim]

Seorang Muslim tidak dianjurkan menikahi seseorang kerana kecantikannya, kekayaannya mahupun darjatnya, tetapi dianjurkan agar memilih yang bertaqwa.

Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda; “Janganlah kalian menikahi perempuan itu kerana kecantikannya, mungkin kecantikannya itu akan membawa kerosakan bagi mereka sendiri. Janganlah pula kalian menikahi mereka kerana mengharap harta mereka, mungkin hartanya itu akan menyebabkan mereka sombong. Akan tetapi, nikahilah mereka dengan dasar agamanya. Sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik, asalkan ia beragama.” [HR Ibnu Majah]

Hadis di atas menuntut agar seseorang berkahwin kerana agama dan bukan kerana selainnya. Apa yang penting, setiap perkahwinan itu mestilah berdasarkan cinta kasih pasangan kerana Allah. Jika setiap pasangan berkahwin atas cinta kerana Allah, nescaya mereka akan beroleh rahmat dari perkahwinan tersebut sebagaimana

Firman Allah Subhanahu wa Taala: “Di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikanNya di antara kalian rasa kasih dan sayang.” [TMQ ar-Rum (30):21]

Kehidupan suami isteri

Pada dasarnya, hubungan suami-isteri adalah hubungan yang didasarkan pada prinsip persahabatan yang akrab, saling mengerti dan saling memerlukan. Hubungan suami isteri ini akan menjadi lebih bermakna jika suami isteri itu tahu menjalankan tanggung jawab masing-masing. Dengan ini syariat Islam telah menjelaskan apa yang menjadi hak isteri atas suaminya dan hak suami atas isterinya. Sebagaimana

Firman Allah: “Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajipannya menurut cara yang makruf.” [TMQ al-Baqarah (2):228]

Ertinya hak yang dimiliki oleh seorang isteri atas suaminya sama seperti hak suami atas isterinya dari sudut masing-masing mesti mematuhi perintah dan larangan Allah.

Oleh sebab itu Ibn Abbas pernah bertutur demikian, “Sesungguhnya aku suka berhias untuk isteriku, sebagaimana ia berhias untukku. Aku pun suka meminta agar ia memenuhi hakku yang wajib dia tunaikan untukku, sehingga aku pun memenuhi haknya yang wajib aku tunaikan untuknya.”

Dan kata-katanya lagi; Para isteri berhak merasakan suasana persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka pun berkewajiban untuk melakukan ketaatan dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka.”

Antara hak dan kewajiban suami ke atas isterinya ialah:

(1) Suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya seperti makanan, minuman, pakaian mahupun tempat tinggal dengan cara yang baik. Sebagaimana

sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam: “Engkau (suami) harus memberinya makan jika engkau makan dan memberinya pakaian jika engkau berpakaian. Janganlah engkau menempeleng wajahnya, janganlah engkau menghinanya, dan jangan pula membiarkannya kecuali di dalam rumah.” [HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Hibban]

(2) Suami berkewajiban memenuhi keperluan seksual isterinya, walaupun hanya sekali dalam masa empat bulan, yakni jika keadaan tidak mengizinkan. Keadaan ini ditetapkan berdasarkan

Firman Allah Subhanahu wa Taala: “Kepada orang-orang yang hendak bersumpah untuk menjauhkan dirinya dari isteri-isterinya, bagi mereka ada masa tangguh sampai empat bulan. Kemudian jika mereka kembali kepada isterinya maka sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [TMQ al-Baqarah (2):226]

(3) Minimum tidur bersama isteri sekali dalam setiap empat hari. Pada masa Umar bin al-Khatthab ketetapan semacam ini pernah dilakukan. Ketetapan Umar ini diambil dari firman Allah; Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga, atau empat.” [TMQ an-Nisa’ (4):3]

Ini bermaksud, jika seorang suami itu mempunyai empat orang isteri (maksimum) maka jarak giliran antara setiap orang isteri adalah empat hari. Jadi, berdasarkan mafhum ayat, empat hari adalah had maksimum bagi suami melayani hak tidur isteri, walaupun isterinya adalah seorang.

(4) Berbuat adil dalam pembahagian jika suami mempunyai isteri lebih dari seorang.

Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa saja yang mempunyai dua orang isteri, kemudian dia lebih cenderung kepada salah satunya, maka orang itu pada hari kiamat akan dipapah oleh seseorang kerana jatuh atau tertatih-tatih.” [HR at-Tirmidzi]

(5) Jika isterinya seorang gadis, maka si suami hendaklah tinggal bersamanya selama tujuh hari dari permulaan pernikahannya dan tiga hari (dari tarikh pernikahan) jika isterinya seorang janda. Ini di ambil dari

sabda Rasulullah yang ertinya: “Bagi gadis tujuh hari, sedangkan bagi janda tiga hari, kemudian barulah ia kembali kepada isterinya yang lama.” [HR Muslim]

(6) Suami disunnahkan memberikan izin kepada isterinya jika ingin melihat saudaranya yang sakit atau menziarahi jika ada yang meninggal dunia.

Di antara hak suami atas isterinya ialah:

(1) Isteri wajib mentaati suaminya dalam hal kebaikan, bukan dalam kemaksiatan kepada Allah. Namun demikian, seorang suami hendaknya tidak memberatkan atau menyusahkan isterinya. Ketentuan semacam ini diambil dari Firman Allah: Jika isteri-isteri kalian mentaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” [TMQ an-Nisa’ (4):34]

Rasulullah juga bersabda:

Sekiranya aku dibolehkan menyuruh seseorang bersujud kepada orang lain, nescaya aku akan menyuruh seorang isteri bersujud kepada suaminya.” [HR at-Tirmidzi]

(2) Seorang isteri wajib menjaga harta kekayaan dan rahsia suaminya. Ia juga tidak boleh keluar rumah kecuali atas izin suaminya. Ketentuan ini diambil dari

sabda Rasulullah: “(Sebaik-baik wanita adalah) yang membahagiakan suaminya jika ia memandangnya, yang sentiasa mentaati suaminya jika ia memerintahnya, dan yang tidak bermaksiat terhadap suaminya atas dirinya dan hartanya dengan sesuatu yang dibenci suaminya” [HR an-Nasa’i]

(3) Berpergian bersama suaminya jika diajak. Sebab, berpergian bersama suami merupakan hak suami yang wajib ditaati oleh isterinya.

(4) Isteri wajib melayani suami jika suami mahu bersamanya. Ini kerana, melayani keperluan bathin suami merupakan kewajipan isteri dan hak bagi suami. Dalam sebuah hadis disebutkan: Jika seorang suami mengajak isterinya untuk tidur bersama, kemudian isterinya menolaknya, hingga suaminya marah, maka malaikat akan melaknatnya hingga pagi hari.” [Muttafaq ‘alaih]

(5) Seorang isteri wajib meminta izin suaminya jika ia hendak mengerjakan puasa sunat. Hal ini didasarkan pada

sabda Rasulullah: “Tidak halal bagi isteri untuk melakukan puasa ketika suaminya menyaksikannya, kecuali berdasarkan izinnya.” [Muttafaq ‘alaih].

Apa yang diterangkan di atas hanyalah sebahagian dari hak dan tanggungjawab di antara suami isteri di dalam kehidupan rumah tangga. Jika suami tidak menunaikan hak isterinya, suami tersebut telah melakukan kesalahan. Begitu juga, jika seorang isteri tidak memenuhi hak suaminya ia telah melakukan nusyuz.

  • Nusyuz

Nusyuz adalah pelanggaran isteri terhadap perintah dan larangan suami secara mutlak. Hukum nusyuz berlaku apabila si isteri melanggar perintah dan larangan suami semasa berada di dalam hayatul khas/kehidupan khusus (rumah tangga) seperti di dalam rumah. Adapun jika seorang isteri melanggar perintah suaminya di luar kehidupan khusus itu, ini tidak dinamakan nusyuz.

Syariat Islam telah menetapkan beberapa hak suami yang perlu dijalankan oleh seorang isteri. Antaranya menguruskan rumah tangga. Apabila seorang suami menyuruh isterinya membancuh teh, membasuh pakaian, memasak, memandikan anak-anak dan menggosok pakaiannya, jika isterinya tidak mahu melakukannya, ini bermakna isterinya itu telah melakukan nusyuz terhadap suaminya.

Begitu juga, jika seorang suami melarang isterinya bertabarruj (berhias diri) atau tidak memakai tudung di hadapan tetamunya di dalam rumah, jika isterinya melanggar larangan suaminya itu, maka isteri tersebut telah melakukan nusyuz.

Sebaliknya jika suami tersebut melarang si isteri keluar rumah bertabarruj atau tidak memakai tudung (di luar rumah – hayatul am), jika si isteri tersebut tidak mengikut larangan suaminya itu, ini tidak dinamakan nusyuz kerana perbuatan itu bukanlah di dalam hayatul khas. Isteri tersebut telah melakukan keharaman kerana melanggar perintah Allah, cuma perbuatan tersebut tidak termasuk kategori nusyuz kerana berlaku di dalam hayatul am.

Contoh yang sama adalah jika si suami melarang isteri dari mencuri. Namun isteri melanggar perintah suami dan tetap mencuri (contohnya mencuri di pasar raya), maka isteri tersebut telah melakukan dosa dan keharaman. Namun ini tidak termasuk di dalam kategori nusyuz. Dan dari segi hukuman, isteri tersebut wajib dipotong tangannya oleh negara (Khilafah) dan bukannya dikenakan hukuman nusyuz oleh suami.

Ketika syariat Islam telah menetapkan hak suami secara umum untuk memerintahkan isterinya melakukan sesuatu, atau melarangnya, syariat juga telah membenarkan beberapa hal dari keumuman tersebut. Misalnya, syariat membolehkan seorang wanita untuk menjalankan perniagaan, mengajar, menghubungkan silaturrahim, pergi ke masjid, menghadiri ceramah ataupun seminar dan sebagainya. Seandainya si isteri melanggar larangan suaminya ini, maka si isteri tersebut tidak jatuh nusyuz kerana ini merupakan hak di dalam kehidupan umum yang dibenarkan oleh Allah ke atas wanita. Namun si isteri mestilah meminta izin kepada suami untuk keluar rumah dan mesti mentaati keputusan suaminya selama mana tidak melanggar syarak.

Syariat Islam juga telah mewajibkan wanita untuk berdakwah dalam masyarakat. Ini bermakna wanita/isteri juga wajib berdakwah, sebagaimana lelaki/suami. Seandainya si suami melarang si isteri untuk keluar berdakwah, ini adalah satu kesalahan bagi pihak suami. Meski demikian, jika di rumah ada kewajipan lain seperti menguruskan anak-anak, menyiapkan pakaian, makan dan minum suami, maka hal ini hendaklah dilakukan terlebih dahulu oleh si isteri.

  • Hukuman nusyuz.

Hukuman nusyuz telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Taala sebagaimana firmanNya yang bermaksud: Wanita-wanita yang kalian khuatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidurnya, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membekas), jika mereka mentaati kalian, janganlah kalian mencari-cari alasan untuk menghukum mereka” [TMQ an-Nisa’(4):34)

Jadi bentuk hukuman tersebut (dan mesti dilakukan menurut urutan) adalah:

1. menasihatinya dan memberi peringatan kepadanya. 2. mengasingkan tempat tidur. 3. memukulnya dengan pukulan yang tidak membekas.

Semua hukuman tersebut ditetapkan sebagai cara agar seorang isteri mentaati suaminya. Jadi, apabila isteri melakukan nusyuz, maka penyelesaiannya mestilah mengikut hukuman di atas.

Di samping itu, satu hal yang semestinya diperhatikan adalah bahawa kehidupan suami isteri harus merupakan bentuk kehidupan berkeluarga yang penuh dengan kasih sayang dan rahmat (mawwadah wa rahmah ).

Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan akulah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” [HR Muslim]

Wallahu a’lam bi sawab.

  • Sumber: mykhilafah.com/fikih-muslimah